Umumnya kita pernah konflik dan terluka. Namun sebagian kita
yang terluka tidak tahu bagaimana cara terbaik menangani luka atau
memaafkan.
Ada dua sikap ekstrim yang sering kami jumpai. Menyimpan
kemarahan alias dendam dan mengabaikan luka alias anggap remeh.
Bagi Anda yang mengampuni dengan cara mengabaikan luka ini
tindakan yang sangat berbahaya. Sebab Jenis pengampunan seperti ini
justru menghambat seseorang untuk bertobat.
Saya pernah menyimpan kemarahan kepada seorang teman saat
masih kuliah dan tinggal di asrama. Saya diremehkan dengan kata-kata saat makan
bersama. Setiap mau tidur, kalimat pelecehan itu terngiang-ngiang. Nyaris
selalu mengambil sebagian waktu saya sebelum tidur. Sementara saya berpura-pura
tidak ada masalah dan tetap berteman. Tapi hati saya pahit setiap bertemu dia.
Setelah setahun saya memutuskan untuk menyatakan perasaan itu, dan kamipun
berdamai. Indahnya pengampunan.
PENGAMPUNAN BERISIKO
Inilah contoh ungkapan pengampunan yang berisiko:
a. “Ohh Tidak apa-apa”. Ini adalah sikap menyetujui
perbuatan yang salah atau menyangkal bahwa ada kesalahan.
b. “Ahh, ngga masalah kok, Itu bukan hal besar; tidak usah
diributkan lagi”. Ini sama saja dengan mengecilkan kesalahan yang dibuat.
c. “Saya tahu kok, kamu dalam keadaan stress akhir-akhir
ini.”. Ini sama saja membenarkan apa yang dilakukan orang yang melakukan
kesalahan.
Tanggapan lemah seperti diatas benar-benar mengacaukan dan
membengkokkan berbagai nilai seperti : kebaikan, kemurahan hati dan keadilan.
Ini juga memperkuat sikap yang menolak keterbukaan dan pertanggungjawaban.
Sementara itu di sisi yang lain ada kelompok orang
yang suka menyimpan dendam. Mereka menolak memaafkan. Tidak sudi
berlaku baik hati pada mereka yang pernah melukai. Mereka bertahan
sakit hati dan ingin membalas dengan tujuan mereka yang bersalah merasa
(tetap) tersiksa.
Jika kita memilih sikap untuk tidak mengampuni kita bisa
menjebak diri sendiri ke dalam empat respon berikut ini: menjadi suka
mengkritik, cenderung meremehkan, suka membela diri dan akibatnya sulit
untuk dipulihkan.
Orang yang memendam dendam meracuni diri
sendiri. Sebab kemarahan dan sakit hati yang kita simpan itu akan
menular. Membuat emosi tidak nyaman, pikiran kacau bahkan hinggga bisa membuat
badan sakit. Anda membayar harga yang terlalu mahal untuk sebuah dendam.
VIRUS DENDAM
Sebelum Papa kami bertobat, bertahun-tahun ia tidak bicara
dengan Abang kandungnya. Menyimpan kemarahan karena perbedaan pendapat. Mereka
menolak saling bertemu. Kalau bicara selalu negatif, dan masing-masing
membenarkan diri dan menyerang saudaranya.
Untunglah suatu hari Papa mengalami sentuhan kasih Tuhan,
dia pergi ke rumah abangnya yang sedang sakit serius. Untuk berdamai
dengan abangnya. Membagikan kasih dan pengampunan yang ia terima. Sejak itu
hati Papa lebih damai, dan bersikap positif terhadap saudaranya ini.
Pribadi dan Keluarga yang dipenuhi dengan racun dendam akan
dilumpuhkan dan dimatikan. Dendam atau sakit hati laksana virus. Para peneliti
menemukan bahwa saat pasangan memendam dendam dan menolak rekonsiliasi,
stres yang dihasilkan konflik ini mengakibatkan tingkat terkena penyakit naik
35% lebih tinggi dari situasi normal.
Sebaliknya, pikiran yang sudah bersih (tanpa dendam)
menunjukkan perbaikan menuju kesehatan yang luar biasa bagus. Dalam Spontaneous
Healing, Andrew Weil, MD., menggambarkan para pasien yang menunjukkan berbagai
gejala penyakit autoimunitas—termasuk rematik arthritis dan lupus, nyeri-nyeri
dan kelelahan yang kronis— gejala-gejala tersebut menghilang saat para pasien
itu jatuh cinta. Jadi jika kasih/cinta “disuntikkan” kepada tubuh yang
penuh penyakit, hasilnya positif: kesembuhan.
Masalahnya kalau sudah ada dendam, perlu upaya mediasi untuk
rekonsiliasi. rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang sifatnya sepihak tetapi
“dihasilkan dari perilaku kedua belah pihak yang saling bisa diandalkan oleh
satu sama lain.. Dalam kondisi ini konselor atau mediator sebagai pihak ketiga
dibutuhkan.
Raja Salomo, menyatukan kebenaran sains dan kebenaran rohani
tentang memaafkan. Dia berkata “Hati yang gembira adalah obat yang
manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang “.
LANGKAH REKONSILIASI
Langkah pertama memperbaiki kerusakan di dalam hati kita
adalah dengan perlu memahami secara objektif situasi hubungan yang ada
sekarang dan bagaimana sejarahnya.
Usahakanlah menemukan pemahaman, empati, dan belas kasih
baik bagi diri Anda sendiri maupun bagi orang yang melukai Anda.
Dan akhirnya, bangunlah imanmu, sebab iman dapat menenangkan
pikiran kita mengatasi segala keyakinan lainnya, mematikan semua penalaran
tidak produktif yang seringkali mengerami pikiran kita.
Jika ada satu orang saja di dalam keluarga
memutuskan mau berdamai dengan sungguh maka keluarga itu akan bisa
membuat perubahan besar dari keadaan yang penuh kemarahan menjadi saling
membangun. Namun sesudah mereka berusaha keras memperbaiki hubungan yang rusak,
dan tidak berhasil, ada baiknya untuk menemukan keluarga angkat. Menemukan
orang-orang di luar keluarga, yang menerima dan mencintaimu, bukan hanya bisa
mendatangkan pemulihan tetapi juga bisa benar-benar mengubah kehidupanmu.
DUA ASPEK PENGAMPUNAN
Ada dua aspek pengampunan yang diharapkan terwujud dalam
rekonsiliasi
1. Pengampunan emosional. Ini berkembang saat perasaan
buruk korban yang penuh kepahitan, kemarahan dan kebencian pelan-pelan
berkembang menjadi berbela rasa (empati), simpati, berbelas kasih dan bahkan
memperhatikan orang yang melukai.
2. Pengampunan Perilaku. Ini mengalir keluar dari
perasaan-perasaan serta keputusan internal (di dalam diri seseorang). Bahkan
korban yang masih terluka karena dikhianati memilih melakukan tindakan penuh
kebaikan dan kemurahan hati. Dia menawarkan maaf dan kasih saat masih ada
kebencian.
Bagaimana dengan pelaku yang sama sekali tidak menyesal dan
terus-menerus melukai korbannya? Meski Kitab suci meminta kita untuk
mengampuni, tetapi kita juga diingatkan untuk menjalankan keterbukaan, keadilan
dan keberanian untuk mengonfrontasi kejahatan. Kita perlu menyadarkan dan
membukakan sifat-sifat anggota keluarga kita yang licik dan jahat.
Pengampunan yang meminimalkan hutang moral dan materi
yang dilakukan oleh pelaku bisa mengundang tindak aniaya yang lebih
parah. Pengampunan yang dipaksakan juga akan mendatangkan kesusahan yang lebih
besar baik bagi pelaku maupun bagi korbannya.
RUMUS PENGAMPUNAN
Pada akhirnya ada delapan poin penting agar pengampunan
terjadi
1. Pentingnya Mengakui kesalahan. Setiap
anggota keluarga yang salah dibimbing dan dituntut mengakui kesalahannya.
2. Pelaku diminta menyatakan penyesalan
dan meminta maaf secara terbuka.3. Pengakuan, penyesalan dan permintaan maaf dari yang bersalah ini akan memberikan jalan lebih mudah bagi mereka yang harus memaafkan.
4. Semua anggota keluarga menerima berbagai perasaan sakit sebagai akibat dari proses pemulihan. Korban perlu menceritakan perasaannya secara terbuka rinci. Gambaran tentang kesakitan ini memberikan peluang kepada yang menyakiti tentang bagaimana besarnya kesakitan yang telah ditorehkannya.
5. Menggali riwayat hidup korban ataupun pelaku. Tujuannya bukan untuk membenarkan apa yang salah akan tetapi untuk menemukan bagaimana tindakan melukai biasanya mengalir ke luar dari orang yang sebenarnya juga telah terluka.
6. Cara pandang baru terhadap kisah keluarga, menyatakan mana cerita yang hanya dilebih-lebihkan, mana kenyataan yang sebenarnya tentang pelaku maupun korban dengan memperhatikan fakta-fakta serta riwayat mereka.
7. Pembagian kesalahan, tanggung jawab dan belas kasih yang lebih merata dengan menyatakan kebenaran lebih jelas lagi.
8. Berempati kepada mereka yang terluka, entahkah itu korban, pelaku, yang dijadikan kambing hitam, atau pun orang yang dijadikan pahlawan oleh keluarga.
Mengampuni itu memang suatu pilihan. Setiap hari saat
konflik dengan sesama, kita diperhadapkan pilihan mengampuni atau tidak. Boleh
dikatakan ini sebuah cobaan besar. Mengampuni merupakan kebutuhan utama
manusia. Tanpa mengampuni hidup kita bisa hambar bahkan mengalami kepahitan.
Dalam Buku Mencinta Hingga Terluka Dijelaskan agar
bisa berdamai dengan sesama, kita perlu lebih dulu berdamai dengan Tuhan dan
diri kita sendiri. Memaafkan adalah PINTU perdamaian dan kebahagiaan.
Tapi ingat, kita tidak bisa memasukinya tanpa membungkuk alias
merendahkan diri dan menganggap yang lain lebih utama dari diri sendiri.
Pengampunan Berisiko, By. Julianto Simanjuntak - Pelikan Jakarta
(Penulis: "Mencinta Hingga Terluka"- Gramedia)
Bacaan:
Beverly Hubble Tauke. Healing Your Family Tree, Tyndale
House Publishers, Inc, 2004.
Julianto dan Roswitha. Mencinta Hingga Terluka, Gramedia,
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar