Tantangan kehidupan remaja masa kini sangat berat. Salah satunya adalah soal gaya hidup. Budaya hedonis dan konsumtif menekan emosi anak-anak yang masih usia sekolah. Mereka menjadi tergoda memiliki barang yang belum mereka butuhkan. Pada masa pubertas, pendapat dan pandangan teman-teman menjadi sangat penting, Akibatnya mereka menjadi minder jika tidak bisa “sama” atau mengimbangi teman, termasuk soal kepemilikan benda.
Dalam kondisi ini banyak orangtua menjadi “pusing” mendengarkan ocehan
permintaan anak yang memberatkan Ortu. Sebab mereka tahu si anak belum butuh
barang tersebut, tetapi hanya ingin karena teman-temannya sudah memilikinya.
Belum lagi ekonomi mereka pas-pasan.
Saya ingin membagikan kisah dari dua orang Bapak yang bekerja
sebagai supir.
Pertama, kisah Pak Jonner
Bulan Januari lalu seorang supir taxi yang membawa saya dari Semarang
ke Salatiga bercerita tentang anaknya. Sebutlah namanya Pak Jonner. Dia sudah
memiliki taxi sendiri dengan cara mencicil lewat satu koperasi. Pak Jonner punya dua anak kembar, keduanya perempuan dan
duduk di kelas 3 SMU. Anak yang satu ngotot minta motor, karena merasa
tergantung dengan antar-jemput Bapaknya. Karena Sang Ayah bawa taksi, bisa tak
tentu jemputannya. Bagi Pak Jonner dan istrinya seorang pegawai negeri masih
bisa diterima.
Mereka berusaha mencicil motor dengan harapan bisa dipakai kedua putri
mereka. Untuk sekolah dan pergi les. Tentu kondisi ekonomi yang semakin berat,
sementara harus mencicil taxi ke koperasi 3 jutaan perbulan. Yang membuat Pak Jonner pusing adalah ketika anak yang satu ngotot dibeliin
Blacberry. Padahal dia sudah punya HP Nokia yang belum lama dibeli Papanya.
Nah, untuk ini Pak Jonner belum bisa memenuhi keinginan anaknya. Saat
negosiasi akan dibeliin tipe gemini, anaknya ogah dan minta yang tipe Bold.
Jonner berkata pada anaknya, “Nduk nduk…Bapakmu supir taxi ngene kok kowe
neko-neko…” Jonner cukup stres menghadapi rengekan anaknya setiap hari. “Kok anakku ini
tidak tahu bapaknya supir taxi, mintanya macam-macam…duhhh pusing…!”, keluh Pak
Jonner.
Kedua, kisah Pak Costa
Tahun lalu, saya mendengar curhat Pak Costa (Samaran). Costa juga
seorang supir (pribadi). Dia menjemput saya atas perintah majikannya membawa
saya ke sebuah acara seminar Anaknya masih duduk di kelas II SMP, mendesak Pak Costa beliin HP baru. Ini
curhatnya “Pak, anak jaman sekarang susah dibilangin. Maunya ikut teman. Temannya
punya HP dia minta dibeliin HP. Temannya ganti HP yang bisa buat foto, dia
minta ganti HP. Anak saya masih di II SMP minggu lalu bilang HPnya rusak.
Sekarang minta HP yang harganya 600 ribu supaya bisa foto, internet dll. Wah,
saya saja nggak tahu itu internet. Dia sudah seminggu nangis-nangis minta HP
baru. Saya terpaksa mau pinjam sama majikan. Semoga saja dikasi. Ah, bingung
Pak ngadapin anak jaman sekarang…”
Itulah dua contoh pergumulan orangtua yang punya anak remaja yang masih
sekolah. Sebagai seorang supir mereka berjuang untuk menghidupi keluarga,
sekolah, makan dan lain-lain. Namun sekarang dengan gaya hidup anak sekolah,
anak mereka tak luput mendapat godaan dan tantangan untuk menjadi “seseorang”
supaya diakui. Ada perasaan malu jika mereka tidak bisa seperti temannya.
Pengalaman pribadi
Anak sulung kami, Jo, beberapa tahun lalu mendapat bea siswa di sebuah
sekolah internasional di jakarta. Lewat proses ujian yang sangat berat. Pasca liburan lebaran waktu dia masih di kelas I SMU, sulung kami
curhat. Dia sedih mendengar teman-temannya bercerita pada liburan ke luar
negeri. Ada yang ke Amerika, Eropah, ada yang ke Ausie, ke Singapura atau
Hongkong. Sementara dia kami bawa liburan saat itu ke Solo. Dia sempat merasa
minder. Lalu, kami mencoba mendengarkan saja curhatnya Jo. Kami jelas ikut prihatin.
Setelah dia curhat, kami membagikan perasaan dan pendapat kami. Kondisi
kami orangtuanya memang tidak sama dengan keluarga teman-temannya. Puji
syukur Jo bisa mengerti dan menerima.
Bukan hanya itu. Selama dia sekolah disana, ada dua hal yang
membanggakan kami. Pertama, Jo membawa makanan alias bontot dari rumah setiap
hari (menurut Jo hanya dua dari 24 anak yang bawa makanan, lainnya jajan).
Sebab uang jajannya yang Rp. 10.000/hari tidak cukup beli jajan di sekolahnya.
Kedua, sementara HP temannya bagus-bagus, HP si Jo tipe Nokia paling murah
seharga 290 ribu. Hanya bisa untuk SMS dan Telpon. Tetapi bagi Jo itu
cukup dan dia menggunakan HP itu sampai tamat SMU.
Penutup
Menghadapi seperti ini, setiap orangtua perlu menyiapkan anak-anak sejak
dini. Diantaranya menanamkan nilai hidup dan membangun harga diri mereka. Juga
Membangun kecerdasan emosi, supaya anak punya empati dan kesadaran diri
terhadap kondisi orangtua. Hal lainnya adalah mengajarkan pola hidup
hemat, dan menjadi contoh bagi mereka. Akhirnya menjadi sahabat bagi mereka.
Penulis ::
Julianto Simanjuntak adalah
dosen bidang konseling keluarga@Jaffray. Terapis masalah kesehatan mental di
Pelikan. Telah menulis 15 buku konseling Silahkan follow @JuliantoWita.
Web: http://www.juliantosimanjuntak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar